BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Islam
lahir pada tahun 610 M apabila kelahiran Rasulullah saw. dihitumg pada tahun
570 M. Pada mulanya penganut agama Islam sangatlah minim, dan salah satunya
ialah Ali bin abi Thalib yang pertama sekali masuk Islam dikalangan anak-anak.
Seiring berjalannya waktu, Ali besar dengan didikan Rasulullah saw. Oleh karena
itu, hidup saidina Ali
r.a dikelilingi dengan ilmu pengetahuan, sampai-sampai Nabi saw. menganalogikan hubungan beliau dengan Ali r.a ibarat ayah dan anak, namun tidak ada lagi penerus Nabi setelah Rasulullah saw.. Karena kepiawaiannya juga membuat penduduk sekitar menyukainya bahkan namanya dikenal ke luar daerah.
r.a dikelilingi dengan ilmu pengetahuan, sampai-sampai Nabi saw. menganalogikan hubungan beliau dengan Ali r.a ibarat ayah dan anak, namun tidak ada lagi penerus Nabi setelah Rasulullah saw.. Karena kepiawaiannya juga membuat penduduk sekitar menyukainya bahkan namanya dikenal ke luar daerah.
Setelah
Rasulullah saw. wafat kepemimpinan beralih kepada Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu
Bakar ash-shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi thalib.
Namun, pada tahun ke tujuh dari pemerintahan Usman bin Affan mulai timbul
konflik karena kebijakan nepotisme beliau yang banyak tidak disetujui oleh
penduduk sekitar dan akhirnyan banyak melahirkan pemberontakan-pemberontakan.
Masalah ini sempat ditanggapi oleh saidina Ali r.a, namun keadaan tak dapat
distabilkan dan akhirnya khalifah Usman terbunuh dikediamannya.
Kepemimpin kemudian diteruskan oleh saidina Ali r.a
atas permintaan masyarakat dengan
harapan akan mengusut tuntas siapa pelaku dari pembunuhan khalifah Usman.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh Muawiyah dengan mempropagandakan semuanya dan
ambisinya untuk menjadi Khalifah sangatlah besar. Dan karena ulahnya juga
akhirnya keadaan semakin kacau.
Kemudian untuk
menyelesaikan persoalan ini, pada tahun 37H terjadilah perang Shiffin
antara saidina Ali r.a dan Muawiyah. dan hampir saja kemenangan diraih oleh
pihak Ali r.a, namun akal liciknya Muawiyah tidaklah sedikit. Untuk mendamaikan
suasana akhirnya kedua belah pihak membuat tahkim dengan perwakilan dari
masing-masing pihak. Keadaan ini dipersulit lagi oleh pihak Ali yang
menginginkan Abu Asy ‘ari utk menjadi perwakilan dari Ali.
Keputusan tahkim diterima olehnya, akibatnya banyak
terjadi reaksi diantara pendukung Ali. Sebagian mereka menerima tahkim tersebut
dan menghormati Ali sebagai pemimpinnya, dan sebagian yang lain tidak menerima
keputusan tahkim dan akhirnya keluar dari barisan Ali r.a serta menuduh Ali r.a
menjadi kafir. Kelompok yang masih bersama Ali r.a kemudian disebut dengan
Syiah sedangkan kelompok yang keluar dari barisan Ali r.a disebut Khawarij.
2.
Rumusan masalah
Setelah membaca sejarah masalah,
maka dapat dirumuskan :
a. Apa itu khawarij dan Syiah ?
b. Pada tahun berapakah munculnya aliran
kwhawarij dan Syiah ?
c. Apakah paham-paham yang dianut oleh
Khawarij dan Syiah ?
d. bagaimana doktrin-doktrin yang mereka
ajarkan kepada masyarakat ?
3.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasannya
ialah:
a. Untuk mengetahui tentang Khawarij dan
Syiah.
b. Untuk mengetahui waktu munculnya
Khawarij dan Syiah.
c. Untuk mengetahui paham-paham yang dianut
oleh khawarij dan Syiah.
d. Untuk mengetahui dokktrin-doktrin yang
mereka ajarkan kepada masyarakat.
4.
Batasan Pembahasan
Dalam pembahsan ini penulis hanya
memaparkan tentang Khawarij dan Syiah yang dilihat dari segi aspek sejarah dan
doktrin-doktrinnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Aliran Khawarij
1.1
Sejarah Timbulnya Aliran Khawarij
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kaum Khawarij terdiri atas pengikut
Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisanya, karna tdidak setuju dengan
sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan pengsengketaan tentang Khilafah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Selanjutnya mereka menyebut diri mereka Syurah yang berasal dari kata
Yasyari (menjual), sebagaimana disebutkan dalam ayat 207 dari surat Al Baqarah:
“Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah “.[1]
Satu hal yang menarik dari sejarah lahirnya teologi Islam adalah bahwa
pemikiran teologi mula-mula lahir sebagai persoalan politik. Tiga atau empat
aliran besar yang mula-mula muncul dalam teologi Islam adalah aliran-aliran
Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, dan Syi’ah . Tapi induk dari segala aliran itu
adalah para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sumber persoalannya adalah pembunuhan
khalifah Usman bin Affan yang pada masa kekhalifahannya telah melakukan
kesalahan besar yaitu diangkatnya beberapa familinya dari bani Umayyah. Oposisi
itu cukup sah dan khalifah Usman sebenarnya telah menyetujui desakan
tokoh-tokoh terkemuka pada waktu itu termasuk Ali bin Abi Thalib yang tergolong
sahabat Nabi saw. yang memiliki baik
kewibawaan maupun integritas , untuk memperbaiki keadaan. Tetapi kaum oposisi
ingin menggulingkannya dengan paksa yang tentu saja ditolak oleh khalifah.
Kaum khawarij pada dasarnya setuju dengan alasan-alasan oposisi terhadap
kebijaksanaan Usman. Mereka tidak terlibat dalam komplotan pembunihan Usman.
Kaum khawarij hanya mengakui dua administrasi kekhalifahan. Tapi mereka
menentang plutokrasi dan nepotisme yang mulai dikembangkan oleh keluarga Muawiyah dengan khalifah Usman sebagai patronnya.[2]
Kaum-kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi.
Sebagi orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran
agama islam, sebagai terdapat dalan Al Qur’an dan Hadis, mereka artikan artikan
menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Disinilah letak
penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil yang diantaranya: Al
Muhakkimah, Al Azariqah, Al Najdat, Al ‘Ajaridah, Al Sufriah, dan Al Ibadiah.
1.2
Doktrin
a.
Al-Muhakkimah
Yaitu golongan Khawarij asli yang terdiri dari
pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka semua orang yang menyetujui arbitrase
bersalah dengan jadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya
sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
b.
Al-Azariqah
Yaitu golongan yang menyusun barisan baru dan besar lagi
kuat sesudah golongan al-Muhakkimah hancur. Subsekte ini lebih radikal dari
al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik dan
polytheis. Selanjutnya yang dipandang musrik adalah orng yang tak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah sendiri, yang
tinggal diluar mereka dan tidak mau pindah kedaerah kekuasaan mereka juga
dipandang musyrik.
Memang dalam anggapan mereka, hanya daerah merekalah yang
merupakan dar al Islam, sedangkan
daerah Islam yang lainnya adalah dar al
kufr, yang wajib diperangi. Sebagai mana disebut Ibn Al-Hazm, selalu
mengadakan isti’rad yaitu bertanya
tetang pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan
mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
c.
Al-Najdat
Yaitu golongan yang keluar dari barisan al-Azariqah karna
tidak sepaham dengan doktrinnya. Abu Fudaik dengan teman-teman serta pengikutnya
memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yammah. Disini mereka dapat menarik
Najdah ke pihak mereka dengan pengikut-pengikutnya dalam pertikaian paham
dengan Nafi’ yang sebelunnya ingin bergabung dengan golongan al-Azariqah.
Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas,
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan tidak sepahan
dengannya akan kekal dalam neraka. Akan tetapi jika pengikutnya yang berbuat
dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tapi bukan dalam neraka dan akan masuk
surga.
Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus menerus dan yang
mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.Seterunya ia berpendapat bahwa muslim
wajib mengetahui Allah dan Rasul-rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang
islam dan percaya pada seluruh apa yang di wahyukan Allah pada rasul-Nya. Orang
yang tak mengetahui ini tak diampuni.
Dalam lapangan politik jajdah berpendapat bahwa adanya
Imam perlu hanya jika maslahat menghendaki yang demikian.
Dalam kalangan al-Khawarij, golongan inilah kelihatannya
yang pertama membawa paham taqiah,
yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri
seseorang. Tapi tidak semua pengikut najdah setuju dengan pendapat dan
ajaran-ajaran diatas, teruma paham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya
menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar.
Dalam perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid al-al Tawil, dan
‘Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari
najdah. ‘Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu Fudaik dan
rasyid mengdakan perlawanan terhadap najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka
tangkap dan penggal lehernya.
d.
Al-‘Ajaridah
Mereka adalah pengikut ‘Abd al Karim Ibnu ‘Ajrad yang
menurut al- Syahrastani merupakan salah satu teman ‘Atiah. Kaum al- ‘Ajaridah bersifat
lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah suatu kewajiban tapi
hanyalah kebajikan. Disamping itu harta yang dijadikan rampasan perang hanyalah
harta orang yang telah mati terbunuh. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak
kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut orang tuanya.
Selanjutnya kaun ajaridah mempunyai paham puritarisme.
Surat yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita cinta dan al-Qur’an, sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin
mengandung cerita cinta oleh karna itu mereka tidak mengakui surat yusuf
sebagian dari al-Qur’an.
Golongan ini terpecah belah menjadi golongan-golongan
kecil seperti al-Maimuniah yang menganut paham qadariah. Dan begitu juga dengan golongan al-Hamziah. Tetapi
golongan al-Syu’aibiah dan al-Hazimiah menganut paham sebaliknya.
e.
Al-Sufriah
Mereka adalah golongan yang dalam paham dekat dengan
al-azariqah dan oleh karena itu juga mereka merupakan golongan yang ekstrim.
Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain addalah
pendapat-pendapat seperti mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh , selanjutnya
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang
membagi dosa besar kedalam dua golongan yaitu ada yang ada sangsinya didunia
dan yang taka da sangsinya didunia.
f.
Al-Ibadiah
Yaitu golongan yang paling moderat dari seluruh golongan
khawarij. Golongan ini berpaham orang yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah
dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
Dan dengan orang Islam demikian boleh diadakan perkawinan , daerah orang Islam
yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp
pemerintah merupakan dar tawhid,
daerah orang yang mng-Esa-kan Tuhan, dan tidak boleh diperangi. Yang merupakan dar kufr,
yaitu yang harus diperangi, hanyalah ma’askar
pemerintah. Dan orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi
bukan mukmin dan bukan kafir al-milla,
yaitu kafir agama.[3]
2. Aliran Syiah
2.1 Sejarah Asal-Usul Syi’ah
Syiah secara etimologi bahasa berarti pengikut,
pembela, sekte dan golongan. Selain itu juga bermakna setiap kaum yang
bersatu atau berkumpul diatas suatu perkara.
Sedangkan dalam
istilah Syara', Syiah merupakan mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan
kepada Ali Bin Abi Thalib beserta cucunya bahwasannya Ali bin Abi Thalib lebih
utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memengang tampuk kepemimpinan
kaum muslimin, demikian juga anak cucunya sepeninggalan beliau.
Aliran Syi’ah timbul sejak pemerintahan Utsman bin Affan
yang dikomandoi oleh Abdullah bin Saba'
Al-Himyari, seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan, lalu Abdullah bin Saba' mengintrodusir ajarannya secara terang-terangan
dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca: imamah)
sesudah Nabi saw sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash
(teks) Nabi saw. Namun, menurut Abdullah bin Saba', Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.
Keyakinan itu
berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu
kebohongan, maka diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka
dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.
Aliran Syi'ah pada
abad pertama hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai trend yang
mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2
hijriyah dan abad-abad berikutnya.
A.
Pokok-pokok Penyimpangan Syi’ah
a.
Pokok penyimpangan syia’ah periode pertama
1.
Keyakinan bahwa imam sesudah Rasulullah Saw
adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi Saw. Karena itu para
Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib ra.
2.
Keyakinan bahwa imam mereka maksum (terjaga
dari salah dan dosa)
3.
Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para
Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari Kiamat untuk membalas
dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
4.
Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para
Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini
berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
5.
Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi
Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba' dan akhirnya
mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut.
6.
Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib
atas Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan
hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut
7.
Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau
sebagian Sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa' wal Firaq
wal Bida' wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hal. 237)
Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan
keyakinan Syi'ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai
perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti
Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut
terangkat kembali dengan revolusi Khomaini dan dijadikan sebagai aliran resmi
negara Iran sejak 1979.
b.
Pokok-pokok Penyimpangan Syi’ah Secara Umum
1.
Pada Rukun Iman:
Syiah hanya memiliki
5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qadha dan
Qadar-Qadar- yaitu: 1. Tauhid (keesaan Allah), 2. Al-'Adl (keadilan Allah) 3.
Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah (kepemimpinan Imam), 5.Ma'ad (hari kebangkitan
dan pembalasan). (Lihat 'Aqa'idul Imamiyah oleh Muhammad Ridha Mudhoffar dll).
2.
Pada Rukum Islam
Syiah tidak
mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu:
1.Shalat, 2.Zakat, 3.Puasa, 4.Haji,
5.Wilayah (perwalian), (lihat Al-Khafie juz II hal 18).
3.
Syi'ah meyakini bahwa Al-Qur'an sekarang ini
telah dirubah, ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti:
"wa inkuntum
fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina FII
'ALIYYIN fa`tu bi shuratim mim mits lih (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan "fii 'Aliyyin" dari
teks asli Al-Qur'an yang berbunyi:
"wa inkuntum
fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih" (Al-Baqarah:23)
Karena itu mereka meyakini bahwa: Abu Abdillah a.s (imam Syiah) berkata:
"Al-Qur'an yang dibawa oleh Jibril a.s kepada Nabi Muhammad Saw adalah
17.000 ayat (Al-Kafi fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur'an mereka yang berjumlah
17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi'ah Al-Kafi fil Ushul
juz I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri Ath-Thibrisy).
4.
Syi'ah meyakini bahwa para Sahabat
sepeninggal Nabi saw, mereka murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti:
Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah
minal Kafi juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244).
5.
Syi'ah menggunakan senjata "taqiyyah" yaitu berbohong,
dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk
mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz II hal.217).
6.
Syi'ah percaya kepada Ar-Raj'ah yaitu
kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat dikala
imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan
anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.
7.
Syi'ah percaya kepada Al-Bada', yakni tampak
bagi Allah dalam hal keimaman Ismail (yang telah dinobatkan keimamannya oleh
ayahnya, Ja'far As-Shadiq, tetapi kemudian meninggal disaat ayahnya masih
hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka, Allah boleh khilaf, tetapi
Imam mereka tetap maksum (terjaga).
8.
Syiah membolehkan "nikah mut'ah", yaitu nikah kontrak dengan jangka waktu
tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II hal.493). Padahal hal itu telah
diharamkan oleh Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
sendiri.
Syiah, dalam sejarahnya mengalami beberapa
pergeseran. Seiring dengan berguluirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi
lima sekte yaitu Kaisaniyah, Immamiyyah
(Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Ismailliyyah. (Al-Milal Wan Nihal
hal.147, Karya Asy-Syihristani)[4]
2.2 Pembagian
Syi’ah
1.
Syi’ah Kaisaniyyah
1.1 Sejarah Kaisaniyyah
Penganut aliran ini adalah pengikut Al-mukhtar Ibn ‘Ubaid Al- Tsaqafi. Pada mulanya Al-mukhtar berasal
dari kalangan khawarij kemudian masuk kedalam kelompok syi’ah yang mendukung
Ali. Nama kaisaniyyah berhubungan dengan nama kaisan, yang menurut satu
kalangan adalah nama lain dari Al-mukhtar,
sementara kalangan lain berpendapat bahwa kaisan adalah nama dari maula (orang
yang dimerdekakan) Ali, atau nama cucu Ali, Muhammad Ibn Al-Hanafiyyah.
1.2 Aqidah Kaisaniyyah
Aqidah aliran kaisaniyyah tidak didasarkan atas ketuhanan
para imam dari ahlulbait sebagaimana yang dianut oleh aliran Sabai’yyah, tetapi
didasarkan atas paham bahwa seorang imam adalah pribadi yang suci dan wajib
dipatuhi. Mereka percaya sepenuhnya akan kesempurnaan pengetahuan dan
keterpeliharaannya dari dosa karena ia merupakan symbol dari ilmu Ilahi. Imam
menurut pandangan mereka, setelah Ali, Al-Hasan dan Al-husain adalah Muhammad
Ibn Al-Hanafiyyah. Sebagian pemganut kaisaniyyah berpendapat bahwa Muhammad Ibn
Al-Hanafiyyah telah meninggal dunia tetapi akan kembali lagi kedunia. Namun
pada umumnya mereka meyakini bahwa ia tidak wafat, tetapi masih hidup di gunung
Radhwa yang dikelilingi madu dan air.
1.3
Pemikiran dan Doktrin Kaisaniyyah
a.
Al-bada’, yaitu keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan
perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian
memerintahkannya yang sebaliknya.
b.
Reinkarnasi, yaitu keluarnya ruh dari satu jasad dan mengambil tempat pada
jasad yang lain.
c.
Segala sesuatu mempunyai sisi lahir dan sisi batin, segala sesuatu
mempunyai ruh, semua wahyu ada takwilnya, segala sesuatu di alam ini ada
hakikatnya, semua hukun dan rahasia yang ada dialam ini terkumpul dalam diri
seseorang. Dan itu merupakan ilmu yang diwariskan Ali kepada cucunya, Muhammad Al-Hanafiyyah. Maka
barang siapa yang didalam dirinya terkumpul ilmu ini, dialah imam yang
sebenernya.
d.
Menafikan pengertian kerasulan didalam diri Muhammad Ibn Al-Hanafiyyah,
walaupun panatisme terhadap keturunan Ali lebih mendorong mereka untuk
mengangkat Muhammad Al-Hanafiyyah kepada dejarat kenabian dengan filsafat
seperti reinkarnasi ruh dan sebagainya.[5]
2.
Syi’ah Imammiyyah (Rafidhah)
2.1
Sejarah Syi’ah Imammiyyah (Rafidhah)
Syi'ah Imamiyah Duabelas adalah sebuah kelompok ummat Islam yang berpegang teguh
kepada keyakinan, bahwa Ali lah yang berhak mewarisi khalifah, dan bukan Abu
Bakar, Umar, dan Usman R.A. Diyakininya ada 12 Imam. Imam yang terakhir - kata
mereka - menghilang, masuk dalam goa di Samara. Sekte Imamiyah inilah yang
bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam pemikiran dan ide-idenya yang
spesifik. Mereka sangat berambisi untuk menyebarkan madzhabnya ke segenap
penjuru dunia Islam. Firqah ini muncul tatkala muncul seorang yahudi mendakwakan
dirinya sudah masuk islam, namanya Abdullah Bin Saba‘. Mendakwakan kecintaannya
terhadap ahli bait, dan terlalu memuja-muji Ali dan mendakwakan bahwa Ali punya
wasiat untuk mendapatkan khalifah, kemudian ia mengangkat Ali sampai ke tingkat
Ketuhanan, hal ini diakui oleh buku-buku syia’ah sendiri. Dua belas Imam yang
dijadikan Imam oleh mereka, berantai secara berurutan sebagai berikut:
1.
Ali bin Abi Thalib r.a
2.
Hasan bin Ali r.a
3.
Husein bin Ali r.a
4.
Ali Zainal Abidin bin Husein
5.
Mohammad Baqir bin Ali Zainal Abidin
6.
Ja’far Shodiq bin Mohammad Baqir
7.
Musa Kadzim bin ja’far Shadiq
8.
Ali Ridha bin Musa Kadzim
9.
Muhammad Jawwad bin Ali Ridha
10. Ali Hadi bin
Muhammad Jawwad
11. Hasan Askari
bin Ali Hadi
12. Muhammad Mandi
bin Muhammad Al Askari
2.2
Aqidah Syi’ah Imammiyyah (Rafidhah)
a.
Sebagian mereka ada yang memulangkan asal usul Syi'ah
kepada peristiwa perang "Jamal". Sebagian lagi ada yang
mengembalikannya kepada sejarah terbunuhnya Utsman, dan ada lagi yang
berpendapat, bahwa Syi'ah dimulai sejak peristiwa perang Shiffien.
b.
Asal usul timbulnya Syi’ah adalah sebagai akibat daripada
pengaruh keyakinan-keyakinn orang Persia yang menganut agama raja dan nenek
moyang. Orang Persia mempunyai andil besar dalam proses pertumbuhan syi’ah
untuk membalas dendam terhadap islam yang telah menghancur-luluhkan kekuatan
mereka dengan mengatasnamakan islam sendiri.
c.
Ide syi’ah bercampur aduk dengan ide-ide yang datang dari
keyakinan-keyakinan di Asia seperti, Budhisme, Manaisme, Brahmaisme serta
mereka-mereka yang berkeyakinan kepada reinkarnasi dan pantheisme.
d.
Syi'ah mengadopsi ide-idenya dari Yahudisme yang telah
membawa tapak-tapak berhalaisme Asyurisme dan Babilisme.
e.
Pendapat mereka tentang Ali r.a., para imam, dan Ahlul
Bait (keluarga Rasulullah SAW.) mendapatkan titik temu dengan pendapat- pendapat
orang Kristen tentang Isa a.s. (Yesus Kristus). Orang-orang Syi'ah hampir mirip
dengan orang-orang Kristen dalam memperingati harihari besar, memperbanyak
gambar dan patung, dan membuat-buat sesuatu yang luar biasa dan
mengembalikannya kepada imam.
2.3 Pemikiran dan Doktrin Syi’ah Imammiyyah (Rafidhah)
a.
Imamah, harus
dengan tekstual. Imam terdahulu harus menentukan imam penggantinya secara
tekstual dan langsung ditunjuk orangnya, bukan dengan bahasa isyarat. imamah
sesuatu yang sangat penting, yang tidak boleh terpisahkan antara Rasulullah SAW
dengan ummat. Dan tidak boleh dibiarkan masing-masing orang menyampaikan
pendapatnya tentang imamah sendiri-sendiri. Justru harus ditentukan seseorang
yang menjadi tempat bertanya dan rujukan.
b.
'Ishmah, Setiap imam terpelihara (Ma'shum) dari segala kesalahan,
kelalaian, dan dosa, baik dosa besar ataupun dosa kecil.
c.
`Ilmu, Setiap imam dititipi ilmu dari Rasulullah SAW. untuk
menyempurnakan syari'at Islam. Imam memilki ilmu ladunni. Tak ada perbedaan
antara imam dengan Rasulullah SAW. Yang membedakan, bahwa Rasulullah mendapat
wahyu. Rasulullah SAW. telah menitipkan kepada mereka rahasia-rahasia syari'at
Islam, agar mereka mampu memberikan penjelasan kepada manusia sesuai dengan
kebutuhan zamannya.
d.
Sesuatu Yang
Luar Biasa, Peristiwa yang luar biasa boleh terjadi pada
diri imam. Itu disebut `mu'jizat. Jika tidak ada satu teks tertulis dari imam
sebelumnya, maka dalam kondisi seperti itu penentuan imam harus berlangsung
berdasarkan sesuatu yang luar biasaitu.
e.
"Al Ghaibah"
(Menghilang), Diyakininya, bahwa zaman tidak pernah kosong dari sebuah argumentasi yang
membuktikan Allah, baik secara logika maupun secara hukum. sebagai konsekwensi
logisnya, bahwa Imam yang ke 12 telah menghilang di sebuah goa (dalam
rumahnya). Diyakininya pula, bahwa imam tersebut memilki "ghaibah
shugra" dan "ghaibah kubra". Ini adalah salah satumitosmereka.
f.
Roj'ah (muncul
kembali),
Diyakininya, bahwa Imam Hasan Al Askari akan datang kembali pada akhir zaman,
ketika Allah mengutusnya untuk tampil. Oleh sebab itu, setiap malam setelah
shalat maghrib, mereka berdiri di depan pintu goa itu, dan mereka telah
menyediakan sebuah kendaraan, kemudian mereka pergi, dan mengulanginya Iagi
perbuatannya itu pada malam berikutnya. Mereka berkata, bahwa ketika kembali,
imam itu akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana bumi sedang dibanjiri
oleh kekejaman dan kedzoliman. Dan ia akan melacak lawan-lawan Syi'ah sepenjang
sejarah. Syi'ah Imamiah ini benar-benar berkata, bahwa Imam itu pasti akan
datang kembali, bahkan sebagian sekte-sekte Syi'ah yang lainnya menyatakan,
bahwa sebagian mereka yang matipun akan datang kembali.
g.
Taqiyah, Dianggapnya sebagai salah satu pokok ajaran agama.
Barang siapa yang meninggalkan taqiyah, sama hukumnya dengan meninggalkan shalat.
Taqiyah adalah suatu kewajiban yang tidak boleh dihapuskan, sampai yang
berwenang tampil. Barangsiapa yang meninggalkannya sebelum ia tampil, maka ia
telah keluar dari agama Allah dan dari agama Imamiah. Mereka mengambil dalil
kepada firman Allah: " Kecuali karena
( siasat
) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
“ ( Q.S. 3 : 28
). Dihubung-hubungkannya dengan Abu Ja' far, Imam yang
kelima, dengan ucapannya : "Taqiah adalah agamaku dan agama nenek
moyangku. Tak ada imannya seseorang yang tidak memiliki taqiah".
Diperluasnya pemahaman taqiah itu sampai kepada batas dusta dan haram.
h.
Mut'ah,
Dipandangnya, bahwa memut'ah wanita adalah adat yang terbaik dan pengorbanan
yang paling afdhal,berdasarkan kepada ayat: "Maka
isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka,berikanlah
kepada mereka maharnya(dengan sempurna),sebagai suatu kewajiban. " (Q.S. 4
: 24). Padahal Islam telah
mengharamkan sistem perkawinan tersebut. Suatu perkawinan yang persyaratannya
dibatasi dengan waktu tertentu, yang menurut Ahlussunnah, syaratnya harus
menghadirkan niat untuk mengekalkannya (kawin seterusnya). Kawin muth' ah
mempunyai banyak dampak negatif di tengah-tengah masyarakat.
i.
Mushhaf versi mereka, yang namanya "Mushhaf Fathimah".
Dalam bukunya, "Al Kafi", halaman 57, cetakan tahun 1278 H., Kulaini
meriwayatkan dari Abi Basyir, ya'ni "Ja'far Shodiq" :
"Bahwasanya kami mempunyai Mushhaf Fathimah r.a., seraya berkata, Kataku :
Apa itu Mushhaf Fathimah? Ia berkata : Sebuah Mushhaf yang isinya seperti Qur'an
kalian 3 kali, Demi Allah, tidak ada satu hurufpun isinya dari Qur'an
kalian".
j.
Lepas Tangan, Mereka lepas tangan daripada ketiga orang khalifah
Rasulullah SAW. Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a., dan memberi mereka
sifat-sifat yang tercela. Sebab, - menurut keyakinan mereka -, ketiga orang
khalifah itu telah merampas khalifah dari orang yang paling berhak untuk
menerimanya. Mereka juga mela'nat Abu Bakar dan Umar r.a., dalam mengawali
segala amal perbuatan yang baik, sebagai ganti daripada membaca "Basmalah".
Mereka juga tidak segansegan untuk melaknat sebagian besar para sahabat
Rasulullah SAW. Dan tidak ketinggalan pula untuk melaknat dan menghina Ummul
mu'minin 'Aisyah r.a.
k.
Berlebihan, Sebagian mereka sangat berlebihan dalam menokohkan Ali
bin Abi Thalib r.a. Bahkan ada yang mengangkatnya sampai pada derajat
"Tuhan" seperti sekte Sabaisme. Sebagian mereka ada yang berpendapat,
bahwa Jibril telah keliru dalam menyampaikan risalah, lalu diturunkannya kepada
Muhammad sebagai ganti daripada Ali r.a. Sebab Ali r.a. itu hampir serupa
dengan Rasulullah SAW. seperti serupanya seekor burung beo dengan beo yang
lain. Oleh sebab itu, yang berkeyakinan seperti itu disebut Ghurabiah
(Beoisme).
l.
Hari Besar Ghadir Khom, Yaitu hari raya mereka yang jatuh pada tanggal 18
Dzulhijjah. Hari ini lebih mulia daripada Iedil Adha dan Iedil Fithri. Hari itu
disebut Hari Raya Agung (Akbar). Berpuasa pada hari itu hukumnya sunnah
mu'akkad. Pada hari itu, menurut pengakuan mereka, bahwa Rasulullah SAW. telah
memberi wasiat tentang khalifah kepada Ali r.a. untuk menggantikan beliau.
m.
Diagungkannya
hari Nairuz,
yaitu hari tahun barunya bangsa Persia. Sebagian mereka ada yang berpendapat,
bahwa mandi pada hari itu adalah sunnah.
n.
Mereka juga mempunyai hari agung yang diselenggarakan
pada tanggal 9 Rabiul Awwal, yaitu hari raya "Bapak" mereka
"Baba Syuja' Uddin", sebuah gelar daripada "Abu Lu'lu'ah Al
Majusi" yang telah membunuh Umar bin Khattab r.a.
o.
Diselenggarakannya pesta-pesta hiburan, kematian,
kesedihan, berfoto-foto, dan menepuk dada, dan perbuatan-perbuatan terlarang
lainnya yang dipentaskan oleh mereka pada 10 hari pertama bulan Muharram,
dcngan keyakinan, bahwa itu semua dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, menghapuskan
dosa dan kesalahan mereka; dan barangsiapa yang menyaksikan mereka pada pameran
suci di Karbela, Nejev, dan Qum, pasti akan melihat sesuatu yang aneh-aneh.[6]
3.
Syi’ah Zaidiyyah
3.1 Sejarah Syi’ah Zaidiyyah
Syi’ah Zaidiyyah berdiri sesudah berselang 60 tahun
setelah Husein wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn ‘Ali. Aliran tersebut
memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang Alim,
Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia) pemberani, pemurah dan mau
berjihad di jalan allah guna menengakkan keimaman taat pada agama baik dia dari
putera Hasan dan Husein. Syiah Zaidiyyah, dalam masalah kekhilafahan atau
keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul
yakni imam yang dinominasikan disamping adanya Imam Al Afdal atau imam yang
lebih utama. Pikiran seperti tentunya karena pendiri aliran Zaidiyyah pernah
berguru kepada Wasil ibn Ata, pendiri Mu’tazilah. Oleh karena itu, aliran ini
tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum Ali ibn Abi Thalib.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum syi’ah berprinsip bahwa Ali ibn Abi Thalib
adalah satu-satunya orang yang lebih berhak menjadi khalifah sesudah Nabi,
tetapi mereka berbeda paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah
Husein wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang
mewarnai identitas kelompok masing-masing.[7]
3.2
Aqidah Syi’ah
Zaidiyyah
a.
Condong kepada aqidah mu’tazilah dalam masalah berkaitan zat Allah, dan
pilihan dalam amalan serta hukum yang berkenaan pelaku dosa besar dan mereka
menyamai pendapat mu’tazilah dalam masalah manfilah baina manzilatain.
b.
Mereka membolehkan al-imam pada kesemua anak-anak fatimah, sama ada
daripada keturunan al-imam al-hasan atau al-husain
c.
Kebanyakkan mereka mengakui akan keimaman Abu Bakar dan Umar, mereka tidak
melaknat keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh rafidhah
d.
Mereka tidak membenarkan nikah mut’ah dan mereka mengingkarinya
e.
Mereka berpandangan sama dengan syi’ah rafidhah dalam zakat al-khumus dan
bolehnya taqiyah dalam keadaan terpaksa.
f.
Dalam azan mereka ditambah dengan kalimah “hayya ‘ala khairil ‘amal”
yang menyamai syi’ah rafidhah.
g.
Mereka berpandangan shalat tarawih adalah bid’ah dan hal ini menyamai
syi’ah rafidhah.
h.
Mereka menolak sholat dibelakang imam yang fajir (dzalim)
i.
Mereka tidak mengimani aqidah mahdi al-muntazar
j.
Mereka berpandangan bahwa wajibnya keluar memberontak keatas imam yang
dzalim dan tidak wajib taat kepada mereka.
4.
Syi’ah Glulat
4.1 Sejarah Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat besaral dari kata ghala-yaghlu-ghulu artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-din
artinya memperkuat menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat
adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sifat berlebih-lebihan atau ekstrim. Ada juga yang memberikan pengertian
bahwa syi’ah ghulat adalah golongan yang menganggap atau menempatkan Ali pada
derajat ketuhanan dan ada yang menempatkan pada derajat kenabian bahkan lebih
tinggi daripada Nabi Muhammad Saw.
Gelar ekstrim yang diberikan
pada kelompok ini, berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada
beberapa orang yang dianggap khusus dianggap tuhan dan ada juga beberapa orang
dianggap rasul setelah Nabi muhammad Saw.
4.2
Pemikiran dan Doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut
Syahratani ada empat doktrin yang
disebarkan oleh syi’ah ghulat yang membuat mereka menjadi ekstrim yaitu:
a.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan
mengambil dari jasad yang lain golongan ini berpendapat bahwa roh-roh yang ada
dalam jasad imam mereka adalah turunan dari roh Allah.
b.
Bada’ adalah
keyakinan bahwa Allah merubah kehendakNya sejalan dengan perubahan keilmuan
serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan sebaliknya.
Golongan ini mempercayai bahwa
imam Mahdi al-muntazar akan datang ke bumi. Namun mereka berbeda pendapat
siapakah yang akan kembali sebagian mengatakan yang akan kembali ke bumi adalah
Ali dan ada yang mengatakan Ja’far bin Shodiq dan ada yang mengatakan Muhammad
bin Hanafiah, bahkan Mukhtar Ats-tsaqofi.
c.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah ghulat telah
menyerupakan imam mereka dengan tuhan atau menyerupakan tuhan.
d.
Hulul artinya
tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada
setiap individu manusia. Hulul bagi syi’ah ghulat berarti tuhan menjelma dalam
diri imam sehingga imam harus disembah.
e.
Ghaiba artinya
menghilangkan imam Mahdi. Ghaibah merupakan kepercayaan bahwa imam Mahdi itu
ada di dalam negri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.[8]
5
Syi’ah Isma’iliyyah
5.1 Sejarah Syi’ah Isma’iliyyat
Isma’iliyyah
adalah sebuah kelompok kebatinan yang dinisbatkan kepada Imam Isma’il bin
Ja’far Shadiq. Secara lahiriah isma’iliyyah cenderung kepada Syi’ah yang
mengagungkan Ahlu bait. Tetapi
hakikatnya kelompok ini menghancurkan ‘aqidah Islamiyyah. Isma’iliyyah
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok dan berkembang sepanjang zaman sampai
hari ini. Kelompok tersebut antara lain isma’iliyyah qaramithah, isma’iliyyah
fathimiyyah, isma’iliyyah assasin, isma’iliyyah syam, isma’iliyyah bahrah, isma’iliyyah
agha khaniyyah dan isma’iliyyah waqifah.
5.2 Aqidah Syi’ah Isma’iliyyah
Madzhab
Isma’iliyyah pertama tumbuh di Iraq kemudian pindah ke Persia. Khurasan dan
kawasan-kawasan Transoxiana seperti India dan Turkistan. Lalu bercampur dengan
kepercayaan-kepercayaan Persia kuno dan pemikirn-pemikiran Hindu. Seterusnya
penyimpangan dan ketidakjelasan “aqidah ini diperkeruh oleh orang-orang yang
ingin memuaskan hawa nafsunya.
Mereka bersentuhan pula dengan
orang-orang Brahma di India, filsafat-filsafat Timur, orang-orang Budha dan
sisa-sis ajaran Astrologer dan Persia berupa keyakinan dan pemikirannya tentang
ruhanu, planet, dan bintang-bintang. Mereka berbeda-beda dalam kadar mengadopsi
khufarat itu. Kerahasian mereka semakin menambah penyimpangannya.
Sebagian
mereka ada yang menjadi penganut aliran mazdak dan zoroaster dalam filsafat
serba boleh dan kekomunisannya (seperti qaramithah)
‘aqidah mereka tidak bersumber
kepada al-qur’an dan sunnah. Di dalamnya telah dimasuki berbagai filsafat dan
kepercayaan yang membekas kepada keyakinan mereka dan menyebabkan mereka keluar
dari ajaran islam.
5.2
Pemikiran dan Doktrin Syi’ah Isma’iliyyah
a.
Keharusan adanya imam ma’shum, yang terjaga dari kesalahan dan dosa.
b.
‘ishmah bagi mereka bukan ketiadaan melakukan
ma’shiyat dan kesalahan, tetapi bagi mereka kesalahan dan ma’shiyat itu harus
ditakwilkan dengan apa yang sesuai dengan kepercayaan mereka
c.
Mereka berkeyakinan barang siapa yang meninggal dalam keadaan tidak
mengenal imamnya dan belum pernah berbai;at maka ia mati dalam keadaan
jahiliyyah
d.
Imam dari syi’ah isma’iliyyah memiliki sifat sangat tinggi sampai mendekati
sifat tuhan. Imam mengetahui ilmu ghaib dan pengikutnya diwajibkan membayar
seperlima hasil usahanya untuk imam.
e.
Keyakinan terhadap taqiyyah dan sirriyah serta menerapkannya ketika terjadi
banyak kesulitan.
f.
Imam isma’iliyyah adalah poros da’wah dan ‘aqidah serta keduanyamengintari
pribadinya.
g.
Keyakinan bahwa bumi ini tidak terlepas dari imam zhahir atau imam bathin.
Apabila imamnya zhahir, maka hujjahnya boleh tertutup. Tetapi apabila imamnya
bathin, maka hujjah dan para penganjurnya harus zhahir.
h.
Keyakinan dengan adanya reinkarnasi.[9]
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Khawarij dan Syiah merupakan suatu kelompok
yang dulunya pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian terbentuk akibat dari
politik.
b. Khawarij merupakan suatu gerakan atau
kelompok yang memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib karena
menganggap Ali telah kafir melalui penerimaan arbitrase dengan Muawiyan bin Abi
Sufyan.
c. Akibat minimnya pengetahuan tentang
keagamaan pada kaum khawarij, maka terjadilah perbedaan pendapat antar
individu-individu khawarij yang akhirnya lahir beberapa sekte dengan pergerakan
masing-masing.
d. Syiah merupakan sebuah kelompok yang
masih setia berada dalam barisan Ali bin Abi thalib karena salah satu anggapan
bahwa Ali merupakan satu keturunan dari Nabi Muhammad saw. yang akan terjaga
dari kesalahan.
Akibat adanya
beberapa perbedaan pendapat antara mereka sendiri maka Syiah pecah menjadi
beberapa sekte
[1] Harun
Nasution, Teologi Islam “Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan “, Jakarta:
UI-Press, 2002, hal. 13
[2] Loekman
Soetrisno,Dkk, Teologi Pembangunan
“Paradigma Baru Pemikiran Islam”, Yogyakarta:
LKPSM NU DIY, 1989, hal 105-108
[3]Harun Nasution, Teologi Islam “Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan “, hal. 15-23
[6]WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,
cet.lll, Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002, hal. 218-224
[9] WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, hal.
25-31
0 komentar:
Post a Comment