Monday, October 5, 2015

Artikel : Harmonisasi Ulama dan Umara

Harmonisasi Ulama dan Umara

Dalam hadistnya, Rasulullah bersabda: “Gambaran ulama di muka bumi ini adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Apabila bintang-bintang itu tenggelam, maka orang-orang akan tersesat di dalamnya.”
            Dua pilar penting yang tidak dapat dipisahkan dan dapat mendamaikan kehidupan di muka bumi ini yakni hubungan ulama dan umara. Esensi dua pilar yang diukur lewat sepak terjangnya dalam mewarnai kehidupan manusia dari masa ke masa, mulai dari masa Rasulullah SAW, sampai masa Khulifahurasyidin. Sebuah pembuktian nyata sebagaimana yang telah dilakukan oleh manusia-manusia pilihan Allah Swt, termasuk Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabat beliau.  
            Mengapa kepemimpinan ulama dan umara itu penting? Pertanyaan sederhana, tapi tidak mudah untuk dijawab. Namun ada beberapa gambaran mengapa Islam sangat menekankan pentingnya seseorang pemimpin. Pemimpin memiliki otoritas untuk melaksanakan hal-hal dalam mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin, baik kaitan dengan fisik material maupun fisik spiritual. Ketentraman hidup duniawi dan ukhrawi harus berjalan beriringan. Dan ulama adalah payung bagi kemaslahatan dan keselamatan umat.  
Ulama dan Umara
            Tidak hanya ulama, seorang umara juga harus memiliki karakter yang baik. Amanat, adil, saleh, dan berwawasan luas, adalah sifat yang harus dimiliki oleh umara. Kesamaan inilah yang membuat ulama dan umara tidak dapat dipisahkan. Dua kelompok umat ini harus berada dalam satu harmonisasi yang utuh. Ini menjadi penting, karena tanpa kebaikan yang lengkap, maka kekacauan akan terjadi dimana-mana. Pembunuhan, korupsi, dan bentuk kejahatan manusia lainnya, menjadi sebuah hal yang biasa. Maka dari itu, di sinilah peran ulama melengkapi kekurangan umara.
 Salah satu sahabat Nabi, Ali Bin Abi Thalib, juga pernah berpesan, “Carilah pemimpin-pemimpinmu yang memahami ilmu agama agar tidak ada kerusakan dan kehancuran.” Pesan tersebut telah disampaikan jauh hari, agar kita bijak untuk memilih pemimpin. Karena selama ini, kita telah melakukan kesalahan dengan memilih pemimpin yang sibuk bicara anggaran untuk anggota dewan. Belum lagi aksi adu jotos dan kalimat makian yang disuguhkan di gedung rakyat. Harta dan jabatan telah menghitamkan hati banyak orang.
            Sejarah juga telah membuktikan bagaimana kemajuan dan kemasyhuran kerajaan Sultan Iskandar Muda, Peurlak, dan Pasai, disebabkan karena ulama dan umara hidup damai berdampingan. Bahkan oleh pendatang India, Aceh dijuluki dengan swarmadipha (pulau keemasan), yaitu sebuah negeri yang hidup dengan kerukunan kedamaian, sehingga tidak ada perselisihan ketika ulama ditempatkan sebagai pemimpin dan pendamping sultan (Hadi, 2010).
            Dalam hal ini, Pemerintah Aceh perlu belajar pada sejarah bagaimana kesultanan masa lampau bisa mensejahterakan rakyatnya. Ulama harus dilibatkan dalam segala lini kepemimpinan. Karena jika paham tentang kesejarahan, Aceh pada masa keemasannya, Qanun Meukuta Alam, yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama, dijadikan UU Pemerintahan. Qanun tersebut menyebutkan bahwa pentingnya ulama sebagai pendamping umara. Sejarah tidak pernah menyebutkan pentingnya kedudukan Wali Nanggroe pada Pemerintahan Aceh. Tetapi ulamalah yang menjadi tiang penyangga.
            Contoh nyata, pada masa pemerintahan Malik Azzahir, Ibnu Bathutah yang pernah mengunjungi kerajaan Samudera Pasai pada 1345, merekam bahwa raja memerintah dengan taat dan senantiasa berkonsultasi dengan para ulama. Di antaranya adalah Qadhi Syariff dari Shiraz dan Tajuddin dari Ishafan. Hingga sampai masa keemasan Aceh Darussalam abad 17, Sultan Ali Mughat Syah yang selama kepemimpinannya juga di temani oleh ulama-ulama terkemuka saat itu. Sebut saja Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniri dan Abdulrauf Al singkili. Begitu juga pada kesultanan Iskandar Muda dan kepemimpinan ratu-ratu aceh keturunan sultan lainnya (Hadi, 2010).
Ulama bukan Boneka
            Sejarah Aceh sudah cukup membuktikan bahwa perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dikarenakan peran ulama. Namun sayang, kini ulama hanya dianggap sebagai tokoh yang berbaur di kalangan masyarakat saja dan menetap di balai-balai pengajian. Sedikit ulama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Padahal peran ulama dalam sejarah Aceh sangat besar, sehingga harapan kemakmuran negeri “Baldatun tahyyibatun rabbul ghafur” pernah disandarkan.
            Namun di abad 21 ini, ulama hanya dianggap sebagai pimpinan dayah semata. Jika bicara selain tentang kitab dan keagamaan, suaranya kerap tidak didengarkan. Bahkan ada bisik halus yang menghembuskan bahwa ulama tidak cocok duduk di kursi pemerintahan. Ulama jangan terlibat politik, karena kaum ini tidak paham tentang pemerintahan. Kejam sekali pemahaman yang ditumbuhkan dalam masyarakat. Padahal ketika mereka tidak dilibatkan, maka kekacauanlah yang terjadi.
            Sebelumnya pada masa penjajahan Belanda, Snock Hungronye yang seorang orientalis juga pernah berusaha menyingkirkan ulama dari negeri Aceh. Tetapi hari ini, ulama malah disingkirkan oleh orang Aceh sendiri. Kaum ini hanya kerap dimanfaatkan untuk politik pencitraan ketika masa kampanye berlangsung. Alhasil, foto-foto calon wakil rakyat dengan seorang ulama, terpampang jelas di kalender dan kartu nama. Ada pesan yang ingin disampaikan, bahwa semua itu seolah menunjukkan betapa harmonisnya hubungan antara ulama dan umara.
            Melihat potret itu, sulit untuk kita mengulang kembali sejarah. Padahal pada masa penjajahan Belanda, begitu antusiasnya para ulama Aceh terjun ke medan pertempuran dan bertindak sebagai panglima perang. Snouc Hunggronye sendiri mengakui kehebatan para ulama Aceh, sehingga ia berencana menghancurkan pergerakan Ulama Aceh. Pasca konflik, gerakan ulama dibatasi semakin sempit. Gerak-geriknya diawasi. Akhirnya ulama hanya ‘dipasung’ untuk mengajarkan anak-anak di balai pengajian.
            Membaca kenyataan yang demikian, maka lihatlah potret kehidupan yang kita dapat hari ini. Korupsi terjadi dimana-mana, maraknya pergaulan bebas, santri yang jumlahnya bisa dihitung pakai jari di balai pengajian, lembaga Syariat Islam yang berdiri hanya sebagai simbol, dan spanduk-spanduk anjuran syariat Islam hanya sebagai pajangan. Ulama-ulama kharismatik hanya diminta menemani santri di balai pengajian yang mulai lapuk dimakan usia.
            Di sinilah harmonisasi itu dibutuhkan. Ulama adalah tiang yang menjaga keadaban kehidupan. Peran ulama sebenarnya lebih besar daripada Wali Nanggroe. Tetapi gelar “Yang Mulia” malah disematkan bukan pada sosok yang tepat. Jika ingin mengulang kejayaan Aceh masa silam, maka perlu melibatkan ulama dalam segala lini kepemimpinan. Jangan dipertimbangkan terlalu lama. Karena kini ulama kharismatik, satu-persatu mulai tutup usia. Harus segera. Sebelum bumi Aceh meredup. Meninggalkan pendar-pendar kejahilan dan mengubur sejarah keislaman dan kehebatan Aceh dalam pusara ingatan.



Oleh :Gunawan
Alumni Fakultas Tarbiyah Pendidikan Agama Islam STAIN Malikusalleh Lhokseumawe, Harapan 1 Duta Wisata Aceh Utara 2015, Pengurus HMI Cab. Lhokseumawe, Bendahara Umum PIKMA Peugoe Aceh Utara, dan pegiat di Komunitas Panteu Menulis Pasee, Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara angkatan v.


Share this article

0 komentar:

Post a Comment

Reffhi Bahrizal

 
Copyright © 2014 Cerita Dunia • All Rights Reserved.
Distributed By Free Blogger Templates | Template Design by BTDesigner • Powered by Blogger
back to top