Harmonisasi
Ulama dan Umara
Dalam hadistnya, Rasulullah bersabda: “Gambaran ulama di muka bumi ini adalah
seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk dalam kegelapan di
darat dan di laut. Apabila bintang-bintang itu tenggelam, maka orang-orang akan
tersesat di dalamnya.”
Dua
pilar penting yang tidak dapat dipisahkan dan dapat mendamaikan kehidupan di
muka bumi ini yakni hubungan ulama dan umara. Esensi dua pilar yang diukur
lewat sepak terjangnya dalam mewarnai kehidupan manusia dari masa ke masa,
mulai dari masa Rasulullah SAW, sampai masa Khulifahurasyidin.
Sebuah pembuktian nyata sebagaimana yang telah dilakukan oleh manusia-manusia
pilihan Allah Swt, termasuk Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabat beliau.
sahabat-sahabat beliau.
Mengapa
kepemimpinan ulama dan umara itu penting? Pertanyaan sederhana, tapi tidak
mudah untuk dijawab. Namun ada beberapa gambaran mengapa Islam sangat
menekankan pentingnya seseorang pemimpin. Pemimpin memiliki otoritas untuk
melaksanakan hal-hal dalam mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin, baik kaitan
dengan fisik material maupun fisik spiritual. Ketentraman hidup duniawi dan
ukhrawi harus berjalan beriringan. Dan ulama adalah payung bagi kemaslahatan
dan keselamatan umat.
Ulama dan Umara
Tidak
hanya ulama, seorang umara juga harus memiliki karakter yang baik. Amanat, adil,
saleh, dan berwawasan luas, adalah sifat yang harus dimiliki oleh umara.
Kesamaan inilah yang membuat ulama dan umara tidak dapat dipisahkan. Dua
kelompok umat ini harus berada dalam satu harmonisasi yang utuh. Ini menjadi
penting, karena tanpa kebaikan yang lengkap, maka kekacauan akan terjadi
dimana-mana. Pembunuhan, korupsi, dan bentuk kejahatan manusia lainnya, menjadi
sebuah hal yang biasa. Maka dari itu, di sinilah peran ulama melengkapi
kekurangan umara.
Salah
satu sahabat Nabi, Ali Bin Abi Thalib, juga pernah berpesan, “Carilah
pemimpin-pemimpinmu yang memahami ilmu agama agar tidak ada kerusakan dan
kehancuran.” Pesan tersebut telah disampaikan jauh hari, agar kita bijak
untuk memilih pemimpin. Karena selama ini, kita telah melakukan kesalahan
dengan memilih pemimpin yang sibuk bicara anggaran untuk anggota dewan. Belum
lagi aksi adu jotos dan kalimat makian yang disuguhkan di gedung rakyat. Harta
dan jabatan telah menghitamkan hati banyak orang.
Sejarah
juga telah membuktikan bagaimana kemajuan dan kemasyhuran kerajaan Sultan
Iskandar Muda, Peurlak, dan Pasai, disebabkan karena ulama dan umara hidup
damai berdampingan. Bahkan oleh pendatang India, Aceh dijuluki dengan swarmadipha (pulau keemasan), yaitu
sebuah negeri yang hidup dengan kerukunan kedamaian, sehingga tidak ada
perselisihan ketika ulama ditempatkan sebagai pemimpin dan pendamping sultan
(Hadi, 2010).
Dalam
hal ini, Pemerintah Aceh perlu belajar pada sejarah bagaimana kesultanan masa
lampau bisa mensejahterakan rakyatnya. Ulama harus dilibatkan dalam segala lini
kepemimpinan. Karena jika paham tentang kesejarahan, Aceh pada masa
keemasannya, Qanun Meukuta Alam, yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama,
dijadikan UU Pemerintahan. Qanun tersebut menyebutkan bahwa pentingnya ulama
sebagai pendamping umara. Sejarah tidak pernah menyebutkan pentingnya kedudukan
Wali Nanggroe pada Pemerintahan Aceh. Tetapi ulamalah yang menjadi tiang
penyangga.
Contoh
nyata, pada masa pemerintahan Malik Azzahir, Ibnu Bathutah yang pernah
mengunjungi kerajaan Samudera Pasai pada 1345, merekam bahwa raja memerintah dengan
taat dan senantiasa berkonsultasi dengan para ulama. Di antaranya adalah Qadhi
Syariff dari Shiraz dan Tajuddin dari Ishafan. Hingga sampai masa keemasan Aceh
Darussalam abad 17, Sultan Ali Mughat Syah yang selama kepemimpinannya juga di
temani oleh ulama-ulama terkemuka saat itu. Sebut saja Hamzah Fansuri,
Syamsudin Sumatrani, Nuruddin Ar Raniri dan Abdulrauf Al singkili. Begitu
juga pada kesultanan Iskandar Muda dan kepemimpinan ratu-ratu aceh keturunan
sultan lainnya (Hadi, 2010).
Ulama bukan Boneka
Sejarah
Aceh sudah cukup membuktikan bahwa perkembangan dan kemajuan suatu bangsa
dikarenakan peran ulama. Namun sayang, kini ulama hanya dianggap sebagai tokoh
yang berbaur di kalangan masyarakat saja dan menetap di balai-balai pengajian.
Sedikit ulama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Padahal peran ulama dalam
sejarah Aceh sangat besar, sehingga harapan kemakmuran negeri “Baldatun tahyyibatun
rabbul ghafur” pernah disandarkan.
Namun
di abad 21 ini, ulama hanya dianggap sebagai pimpinan dayah semata. Jika bicara
selain tentang kitab dan keagamaan, suaranya kerap tidak didengarkan. Bahkan
ada bisik halus yang menghembuskan bahwa ulama tidak cocok duduk di kursi
pemerintahan. Ulama jangan terlibat politik, karena kaum ini tidak paham
tentang pemerintahan. Kejam sekali pemahaman yang ditumbuhkan dalam masyarakat.
Padahal ketika mereka tidak dilibatkan, maka kekacauanlah yang terjadi.
Sebelumnya
pada masa penjajahan Belanda, Snock Hungronye yang seorang orientalis juga
pernah berusaha menyingkirkan ulama dari negeri Aceh. Tetapi hari ini, ulama
malah disingkirkan oleh orang Aceh sendiri. Kaum ini hanya kerap dimanfaatkan
untuk politik pencitraan ketika masa kampanye berlangsung. Alhasil, foto-foto
calon wakil rakyat dengan seorang ulama, terpampang jelas di kalender dan kartu
nama. Ada pesan yang ingin disampaikan, bahwa semua itu seolah menunjukkan
betapa harmonisnya hubungan antara ulama dan umara.
Melihat
potret itu, sulit untuk kita mengulang kembali sejarah. Padahal pada masa
penjajahan Belanda, begitu antusiasnya para ulama Aceh terjun ke medan
pertempuran dan bertindak sebagai panglima perang. Snouc Hunggronye sendiri mengakui
kehebatan para ulama Aceh, sehingga ia berencana menghancurkan pergerakan Ulama
Aceh. Pasca konflik, gerakan ulama dibatasi semakin sempit. Gerak-geriknya
diawasi. Akhirnya ulama hanya ‘dipasung’ untuk mengajarkan anak-anak di balai
pengajian.
Membaca
kenyataan yang demikian, maka lihatlah potret kehidupan yang kita dapat hari
ini. Korupsi terjadi dimana-mana, maraknya pergaulan bebas, santri yang
jumlahnya bisa dihitung pakai jari di balai pengajian, lembaga Syariat Islam
yang berdiri hanya sebagai simbol, dan spanduk-spanduk anjuran syariat Islam
hanya sebagai pajangan. Ulama-ulama kharismatik hanya diminta menemani santri
di balai pengajian yang mulai lapuk dimakan usia.
Di
sinilah harmonisasi itu dibutuhkan. Ulama adalah tiang yang menjaga keadaban
kehidupan. Peran ulama sebenarnya lebih besar daripada Wali Nanggroe. Tetapi
gelar “Yang Mulia” malah disematkan bukan pada sosok yang tepat. Jika ingin
mengulang kejayaan Aceh masa silam, maka perlu melibatkan ulama dalam segala
lini kepemimpinan. Jangan dipertimbangkan terlalu lama. Karena kini ulama
kharismatik, satu-persatu mulai tutup usia. Harus segera. Sebelum bumi Aceh
meredup. Meninggalkan pendar-pendar kejahilan dan mengubur sejarah keislaman
dan kehebatan Aceh dalam pusara ingatan.
Oleh :Gunawan
Alumni Fakultas Tarbiyah Pendidikan Agama Islam STAIN Malikusalleh Lhokseumawe, Harapan 1 Duta Wisata Aceh Utara 2015, Pengurus HMI Cab. Lhokseumawe, Bendahara Umum PIKMA
Peugoe Aceh Utara, dan pegiat di Komunitas Panteu Menulis Pasee, Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara angkatan v.
0 komentar:
Post a Comment